Seiring dengan berjalannya waktu, detik berganti detik, menit berganti menit, hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, begitu pula generasi lama berganti generasi baru. Singkat kata, saya, Heppy Nuritasari, dengan segenap hati mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kerja sama(?) dan kerja keras yang dilakukan oleh pengurus NiKu angkatan 2010/2011. Apa jadinya NiKu angkatan 2010/2011 tanpa kalian di sisiku(?)? padahal saya kebanyakan gak kerja
Mohon maaf bila selama saya memimpin, saya telah melalaikan berbagai aspek kepemimpinan, telah dengan tidak bertanggung jawab memimpin kalian ke jalan yang entah benar atau salah, telah seenak hati berbuat dan berbicara, telah dengan seenak hati memperbudak pengurus angkatan 2010/2011, maaf bila saya lebih banyak kebawa emosi dibanding kebawa bijaksananya, maaf kalau saya terlalu egois dan maaf bila mungkin jabatan ketua ini telah saya salah gunakan. Tapi saya berharap agar apa yang telah dicapai oleh angkatan 2010/2011 dilanjutkan dan/atau dikembangkan di angkatan 2011/2012 uuh doomsday :O. Saya berharap agar angkatan yang sekarang dan selanjutnya dapat membuat NiKu lebih baik dan lebih dipandang baik oleh pihak sekolah maupun pihak OSIS. Ekskul kita memang dipandang sebelah mata, tetapi saya harap kalian dapat melewati semua pandangan yang hanya sebelah itu dan justru menjadikan pandangan-pandangan itu sebagai cambuk sparta bagi kalian untuk menjadi angkatan yang lebih baik dari angkatan saya.
Saya tidak bisa menyampaikan ini semua secara lisan. Karena, srsly, tampang saya emang gak mendukung untuk bicara serius dan mellow(?) kayak gini. Saya emang gak bisa diandalkan dalam pembicaraan krusial yang seperti ini. Apa itu krusial? Saya juga gak tahu arti krusial itu apa. #krik
Singkat kata, saya berterima kasih banget sama orang-orang yang berada di bawah ini: - Murni Setianingrum-sensei (arigatou gozaimasu, sensei. Karena telah melahirkan L dengan selamat. #ganyambung) - Nisa El Purwatari (Sankyuu atas semua kerja keras dan keringat yang kau kucurkan demi untuk kemajuan NiKu yang ketuanya blangsak kayak saya. #bershower) - Atty Nurhayati (terima kasih karena telah menjadi JUMPer. jadi sekarang saya ada temen fg-ing di sekolah) - Aninda Dinar (terima kasih karena telah menjadi sekretaris dan orang yang bisa saya andalkan selain Icha) - Sari Pratama Putriningsih (terima kasih karena telah menjadi bendahara yang sangat bertanggung jawab sampai-sampai uang kas-nya terlalu besar. terima kasih juga atas malam dimana kemampuan accounting-mu saya uji.) - Alfie Azizah, Lissa Nuryadi, Gita Chan Hoshiko(?), dll. - Cahya Retno dan Nabilah Hanifati. (terima kasih karena telah rela menjadi seksi promosi meskipun agak sulit untuk diatur ini-itu) - Pokoknya semua angkatan 2010/2011. Saya lupa siapa aja. Intinya saya berterima kasih banget.
Karena saya udah lengser, saya gak punya hak untuk menulis apapun lagi disini. Jadi mungkin ini adalah post terakhir dari saya. Nanti akan saya minta pengurus lain untuk menulis kata-kata terakhir(?) mereka di sini. Sekarang, saya sedikit merasakan makna dari
"Your college friends knows who you are, but your highschool friends knows why."
Yah, singkat kata, 皆ーさん、本当にありがとうございます!皆、大好きだよ~!!
僕たちには。。 (boku tachi ni wa..)
肉がある!! (NIKU ga aru!!) omg, NIKU disebut-sebut sama Yabu!
Disclaimer: this fanficts is mine. Don’t copy this except you give permission to me
Author: Jung Yoora
Ps: comment in my twitter @yoodunsu
or my facebook @Theresa Ruby Junsu lewat wall atau @ジュンス金 lewat message
mian kalo jelek*deep bow*
yep.... happy reading^^
Asrama Ryugu…
“Huweeee~,” teriak seorang gadis dari dalam sebuah kamar. Lalu ia keluar kamar dan berjalan ke arah dapur. Dilihatnya ada seseorang yang sedang memegang piring, jongkok membelakangi meja makan. “Shizu~~~,” panggil gadis itu. Seseorang yang bernama Shizu tersebut kaget dan hamper menjatuhkan piring yang ia pegang. “Nani?!” tanya Shizu sedikit kesal. “Lihat Jimi gak? Dia hilang~,” jawab gadis itu sambil terisak. “Tidak tahu, Aya! Tanya yang lain. Ganggu saja,” omel Shizu. Aya langsung pergi dari dapur. Saat Shizu asyik makan, tiba-tiba ia merasakan ada hawa tidak beres dibelakangnya. Dengan pelan, ia menengok kebelakang dan mendapati Mina menatapnya dengan tatapan pembunuh. “Mati,” gumam Shizu. “Ohayou senpai^^,” sapa Shizu mencoba beramah tamah. “SUDAH KUBILANG BEBERAPA KALI, KALAU KAU MAKAN SEBELUM WAKTUNYA TIDAK AKAN MENDAPAT JATAH MAKAN SIANG!!! KAU MAU?” teriak Mina kesal. “Hai!!!” kata Shizu sambil kabur ke ruang tengah. “Huh! Menyusahkan saja!” gerutu Mina sambil melanjutkan kegiatan masaknya. Ditempat lain, Aya masih sibuk mencari Jimi-nya. Jimi adalah seekor kelinci berbulu coklat yang dibeli Aya saat kecil. Ia sangat menyayangi Jimi. Maka Aya cemas kalau Jimi menghilang. Aya kembali mencari dikamarnya, tidak ketemu. Lalu Aya pergi kekandang Jimi ditaman. Tidak ketemu juga, hanya ada Heebum dan Xiahki milikSatsuki dan Choco milik Shizu. Aya berinisiatif mencari dikolam Heebum yang notabene kura-kura, tapi tetap tidak ketemu. Aya mau mencari dikandang Choco, tapi langsung diurungkan niatnya. Mana mungkin kelinci nyasar dikandang anjing, pikir Aya. Aya juga mencari dikandang Xiahki, tetapi juga tidak ketemu. Gadis itu masuk lagi kedalam.
Didalam, Aya melihat Hapy memakai bando kelinci. Aya langsung menghampiri Hapy. “Senpai gitu ya. Jahat banget sampai bunuh Jimi untuk bando. Senpai jahat!” serta merta Aya langsung berkata seperti itu kepada Hapy dan berlalu pergi. Hapy yang tidak tahu persoalannya hanya bias bengong. Ia menanyakan perihal Aya ke Rei yang kebetulan lewat. “Rei, Aya kenapa?” tanya Hapy. “Oh, Jimi-nya hilang,” jawab Rei. “Hilang? Dicuri siapa?” tanya Hapy lagi. “Tidak tahu sih. Tapi feelingku pasti dia,”jawab Rei sambil memandangi sebuah kamar yang berada didepan pintu ke taman. “Iya benar. Pasti dia,” kata Hapy ikut-ikutan. Sementara itu, Aya sedang berjalan melewati ruang laundry. Aya mendengar bunyi dari dalam mesin cuci. Kemudian ia melihat Makoto mengambil beberapa pakaian dari dalam mesin cuci, saat itu Aya yang stress karena Jimi belum ditemukan mengira bahwa Makoto mencuci Jimi. “Onee-chan!” panggil Aya setengah berteriak. “Hmm?” tanggap Makoto masih sibuk mengambil pakaian. “Onee-chan mencuci Jimiku ya?” tuduh Aya. “He? Ngapain nguci Jimimu? Kurang kerjaan,” bantah Makoto. “Itu apa? Itu Jimi kan?” tuduh Aya lagi sambil menunjuk sesuatu yang bewarna coklat dikeranjang. “Itu celanamu Aya. Dasar,” kata Makoto sambil mengambil celana tersebut. Ternyata benar, itu celana. “Huwaaaa!!! Jimi kemana?” tangis Aya sambil pergi. Tak lama kemudian, “MINNA, MAKANAN SIAP,” teriak Mina dan Hime dari dapur. Semuanya pergi kedapur dan duduk dikursi menunggu makanan dihidangkan. Aya datang paling akhir. Saat ia melihat daging dimeja, “Jimi digoreng~~~,” isak Aya langsung menangisditempat. “Aya, ini daging sapi,” kata Rei mencoba memberi penjelasan. “Hontou ni?” tanya Aya terisak. “Hai. Makan ya,” jawab Rei.
Disaat makan, “Mana Satsuki?” Tanya Himawari. Semuanya tersadar. “Hime, panggil Satsuki,” suruh Hapy. “Shizu saja. Kan dia roommate Satsuki,” kata Hime sambil menunjuk Shizu. Shizu dengan malas berjalan menuju kamar Satsuki yang juga kamarnya. “Tsuki, makan,” panggil Shizu sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Shizu mencoba mengetuk pintu kamar sekali lagi, namun tetap tak ada jawaban. Shizu menyerah, dia kembali kekursinya. “Satsuki lagi sibuk,” kata Shizu. Yang lain melanjutkan makannya.
<Satsuki’s pov>
TOK… TOK… kudengar pintu kamarku diketuk. Aku terdiam dari pekerjaanku. “Tsuki, makan,” panggil Shizu dari luar. Jangan sampai dia membuka pintu, pikirku. Shizu mengetuk pintu sekali lagi, aku tetap diam. Tak lama kemudian, ia tidak mengetuk lagi. Sudah pergi, pikirku lagi. Huft, untung tidak ketahuan. Aku memandang hasil karyaku dengan bangga. Seekor kelinci yang bewarna hitam-pink bermotif polkadot. “Kau kelihatan sangat bagus, Jimi,” gumamku bangga.
FIN
Kesan-kesan selama proses pengetikan:
Wah… THE BAD DAY SEASON 2 dah jadi~ CLAP YOUR HAND! *ditabok readers* ya… Selama ngetik banyak rintangannya. Yang pertama, saya lebih milih main game di laptop. Eu kyang kyang~ ya saya kan masih anak SMA kelas 1 yang imut, ramah, punya dolphin voice #plak, rajin menabung, tipe anak angel #plak. Tapi kayak bebek! *kata my chunnie baby Naomi ya* yang kedua, saya malas ngetik. Lebih milih baca fanfic orang. Apalagi STORY lagi seru. Yang ketiga, badan saya lagi pegal. Bayangin aja, ngepel 1 kelas sendiri! Bukan capek, tapi encok! Bokongku~~ bokong bebekku encok! Ngepel 1 kelas, sendiri, dengan tinggi yang dibawah rata-rata, bawah meja juga! Pada gak mikir sih tu tomodachi!!! Mana bilang lagu-lagu SHOUJO JIDAI dan TOHOSHINKI norak lagi!!! Coba piker pake logika, cowok Indo ada gak yang bisa teriak ampe suara falsetto? Cari ja ampe lebaran kucing! Gak bakal nemu! Dasar alay kampung! Bukannya author gak cinta tanah sendiri, tapi gak kayak gitu juga kan? Hak orang masing-masing tuk suka pada sesuatu. Dan kalau gak mau kesukaannya dibash, jangan ngebash kesukaan orang lain. Denger lagu dikelas ja kenceng banget, ngelarang orang lagi, sok ngatur pula! *lha, curcol?*
Dah segitu, kesan-kesan dari saya, selaku author, JUNG YOORA. Pesan saya Cuma satu untuk fanfic yang BEAUTIFUL ini, pada comment ya. Author sakit hati kalo gak pada komen. IT HURTS rasanya. Hai, jaa mata =^-^=
Title: The Bad day: Is That Really a Bad Day? Maybe… yes… or no? o_0”
Cast: Amaya Satsuki
Ren Shinozuka
Aya Hoshino
Rei Otohata
*and other cats….*
Genre: romance, komedy (?), friendship
Rating: PG-12
Length: oneshoot
Summary: malas bikin…. -_-“
Disclaimer: this fanficts is mine. Don’t copy this except you give permission to me
Author: Jung Yoora
Ps: comment in my twitter @yoodunsu
or my facebook @Theresa Ruby Junsu lewat wall atau @ジュンス金 lewat message
mian kalo jelek*deep bow*
yep.... happy reading^^
PART 1
“Aduh... kemana sih itu orang? Sudah mau berangkat nih. Memang jalanan tidak macet?!” keluh Aya sambil melihat jam tangannya.“Sabarlah Aya. Mungkin dia terjebak macet,” kata Satsuki menenangkan Aya yang sedang kesal.“Ih bodoh!” omel Shizu sambil menjitak Satsuki.“Aduh! Apa salahku?” omel balik Satsuki.“Orangnya sudah datang, bodoh! Kau telat,” jelas Shizu sambil menunjuk seseorang.“Huuu~~~ telat.... kemana saja Hapy-senpai?!” tanya Aya setengah kesal.“Minna, gomen. Tadi kejebak macet,” jawab Hapy sambil meminta maaf.“Yang sudah datang siapa saja?” tanya Hapy sambil mengambil daftar nama-nama yang akan ikut ke Kyoto.“Tinggal Yukiko saja yang belum datang,” jawab Shizu.Satsuki mengambil earphone dari tasnya dan memasangkan di telinganya, lalu naik bis.“Satsuki, cotto matte,” kata Shizu sambil menyusul Satsuki ke bis.Tak lama kemudian, Yukiko datang dan rombongan pun berangkat ke Kyoto. Mereka pergi ke Kyoto untuk melihat pameran budaya Jepang. Mereka naik bis dari Shibuya ke Kyoto. Sebenarnya lebih cepat kalau naik shinkansen, tapi semua anak-anak yang ikut adalah anak-anak rusuh, jadi takut menganggu penumpang disekitarnya. Didalam bis, Hime merebut kertas yang berada ditangan Hapy lalu mengabsen anak-anak. Setelah diabsen, Sora bersama Natsu mengabadikan keceriaan di bis dalam foto. Sampai ditempat duduk Aya dan Rei.
PART 2
“Wah~~~ sugoi,” komentar Natsu.“Kawai-nee... ayo foto,” tambah Sora langsung memotret mereka. Satsuki dan Shizu yang notabene-nya duduk di depan mereka berdua hanya diam sambil mendengarkan lagu. Tiba-tiba Shizu menyerahkan Hp-nya pada Satsuki. Ternyata Shizu menulis sesuatu untuk Satsuki. Mereka saling berkomunikasi lewat itu. 2 jam kemudian, mereka sampai di Kyoto. Suasana yang tenang dan asri menyambut mereka. Aya yang pertama turun dari bis, diikuti Shizu yang menggandeng tangan Satsuki sehingga gadis itu hampir jatuh dari bis dan anak-anak lainnya. “Segar ya,” komentar Aya. “Ya iyalah. Kyoto gitu,” balas Makoto sambil menjitak kepala Aya. “Aduh, nee-chan~ sakit tau,” rajuk Aya. “Habisnya kamu itu ngaco saja. Jangan samakan suasana Kyoto dengan Shibuya. Kalau mau, dengan Hokkaido saja,” kata Makoto sambil meninggalkan Aya yang masih meringis kesakitan. “Sudah, jangan dipikirkan. Ayo masuk,” kata Rei sambil menggandeng tangan Aya. Mereka berdua bergandengan tangan memasuki gerbang pameran budaya dan berjalan agak jauh daripada rombongan, seolah dunia milik berdua. “Shizu~” panggil Satsuki. “Nani?” tanya Shizu masih fokus ke layar Hpnya. “Ada 1 stand yang bagus,” jawab Satsuki. Satsuki langsung menyeret Shizu menuju stand tersebut. Mereka tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Begitu juga yang lain.
PART 3
Mendekati jam 11 siang, Satsuki dan Shizu bertemu dengan Aya dan Rei. Tiba-tiba ada pengumuman bahwa obake telah dibuka. “Hei, nonton obake yuk,”ajak Satsuki. “Kita kan berempat, jadi pas berdua,” tambah Shizu. “Hmm… bagaimana, Rei?” tanya Aya pada Rei yang sedang berpikir. “Boleh,” jawab Rei. Mereka berempat berjalan menuju ujung stand. Setelah sampai, mereka mengantri di belakang Makoto dan Yamato. “Wah… Takoyaki!! Mau, senpai~~” pinta Satsuki. “Nih, buatmu,” kata Yamato sambil memberikan takoyakinya pada Satsuki. “Arigatou, senpai^^,” kata Satsuki sambil menerima makanan tersebut dan mulai memakannya. “Oishii~~~” kata Satsuki senang. “Satsuki, kau seperti anak kecil saja,” komentar Rei. “Biarin. Kata nii-san juga begitu,” balas Satsuki acuh tak acuh. Selama mengantri, tangan Aya tak lepas dari genggaman Rei.
*author: pengen w lem tu tangan*
*Shizu: mank lu doang yang mau? W juga*
*author: bawa lem gak?*
*Shizu: gak.*
*Rei: HEH! Lanjutin! Bukan ngobrol*
*author: gomen. Bilang aja pengen. Back to story*
Saat giliran Satsuki dan Shizu masuk, tiba-tiba Shizu menarik tangan Satsuki. “Tidak usah masuk ya,” pinta Shizu. “Kuganti uangmu ¥15.000 deh. Asal jangan masuk~” tambah Shizu. Bersamaan dengan itu, hujan turun. “Daijobu. Kau mau ke bis? Aku bawa payung,” kata Satsuki sambil mengeluarkan payungnya dari tas. Dan mereka berdua berjalan menuju parkiran bis. Di parkiran bis, Satsuki dan Shizu tidak menemukan 1 tempat yang enak buat makan siang. Jadi mereka memutuskan makan di dalam. Saat melewati gapura, “Shizu, mau makan disitu?” tanya Satsuki sambil menunjuk 1 tempat yang sedang dipakai beberapa orang untuk menari. “Sambil menonton penari Kyoto latihan? Boleh juga,” mereka berdua memilih tempat yang enak lalu makan siang disana. Saat makan siang, Makoto dan Yamato datang menghampiri mereka. “Aya mana?” tanya Makoto. Satsuki menggelengkan kepalanya, sedangkan Shizu malah asyik makan. “Kalian kenapa?” tanya Yamato. “Aniyo sunbae,” jawab Satsuki sinis. Entah karena kesal, ia jadi berbicara dengan bahasa Korea. “Kata dia, tidak ada apa-apa, senpai,” kata Shizu menjawab pertanyaan yang belum sempat diucapkan oleh Yamato. Lalu, “NEE-CHAN~~~!!!!” teriak Aya dari kejauhan. Aya langsung berlari kearah Makoto. “Apaan sih? Berisik tau. Ketakutan ya habis masuk obake?” goda Makoto sambil duduk di samping Shizu. “Hai~ Shizu! Kenapa tidak ikut masuk?” tanya Aya pada Shizu, namun yang ditanya malah acuh tak acuh. “Lho? Bukannya ada Rei? Kalian masuk berdua kan? Jadi kenapa takut?” tanya Satsuki sinis. “Dia ketawa mulu,” jawab Aya sambil memajukan bibirnya kesal. Baik Satsuki maupun Shizu hanya diam seolah-olah mereka hanya berdua ditempat itu saja. “Makan yuk,” ajak Rei. “Aku tidak bawa bekal,” keluh Aya. “Ayo kita beli,” kata Makoto. Mereka berempat kembali masuk ke pameran tersebut.
PART 4
Sepeninggal mereka berempat, “Aku harap mereka tidak kembali,” gumam Satsuki pelan. “Iya. Entah kenapa aku kesal melihat mereka berdua,” kata Shizu mengiyakan.
*author: w suka bagian ini*
*satsuki: sama. Oh iya, ada bagian yang di skip kan?*
*author: kok tau? Ah gapapa. Gak penting ini*
*satsuki: yesungdah. Balik ke cerita!*
*author: *lempar satsuki pake yesung(?)* itu tugas w tao! Back to story^^*
“Shizu… Kenapa harus ada rasa envy?” tanya Satsuki sambil menerawang. “Iya. Kenapa harus ada rasa iri, dengki, gak suka, benci, dll? Kenapa tidak senang saja?” tambah Shizu. Mereka berdua seperti itu sampai Aya, Makoto, Rei dan Yamato balik ke tempat mereka. “Halo, nunggu lama ya?” tanya Rei sekedar gurauan saja. Namun seperti tadi, Satsuki dan Shizu mendiamkan Aya dan Rei. Mereka berenam makan di situ. Setelah selesai, “Satsuki, Shizu. Kami berdua mau masuk lagi? Mau ikut?” tawar Makoto. “Iie, kami masih mau disini,” jawab Satsuki lembut. “Hontou ni?” tanya Yamato. “Hai~~~” jawab Shizu mantap. Aya dan Rei menyusul Makoto dan Yamato tanpa pamit kepada Satsuki dan Shizu karena merasa akan dicuekin lagi ma mereka berdua. “Kita curhat yuk,” ajak Shizu. “Habis itu, kita gila-gilaan^^” tambah Satsuki. Mereka melakukan berbagai hal mulai dari berbagi cerita sampai tertawa bersama. Kemudian Shizu mendapat telpon dari Yukiko untuk masuk, dan rombongan pulang ke Shibuya jam 5 sore. Selama dibis, Satsuki dan Shizu hanya diam saja.
FIN
Author: akhirnya, selesai juga^_^”
Rei: fuah… capek juga
Author: ya!!! Harusnya aku yang bilang tao!
Satsuki: sudah thor (?) …
Author: habis… kesel… gak tokoh gak pemeran sami mawon etan kulon(?)
Aya: sabar thor…
Author: kok pada manggil w thor ya? Readers~~~ gomen karena author terlalu banyak curcol pada tokoh *dilempar sandal ma Hime n Rei*
Author: heh! Lain kali kubikin mati kau difanfict ku selanjutnya…
Hime: ampuni aku nyi ratu(?)…
Author: wuahahaha *evil laugh* hidup mati tokoh ditangan author *evil sound*….
Shizu: baik! Sampai jumpa dikarya Jung Yoora selanjutnya^^
Warning: YuixHinata, spoiler for anime episode 10, OOC, AU, quotes from Angel Beats! Anime.
Summary: “Aku tahu, aku bukanlah orang yang puitis, bukan pula orang yang romantis. Aku hanya tidak ingin melihat dia meringis, sedangkan aku hanya menangis.” —Hinata
Unbearable
—Time Waits For No One —
“I play baseball, you know. One day, I’ll smash a baseball through your window, and when I go to get it—
KLAAANG!
Hinata menatap ke atas. Ke arah langit yang dihiasi sinar matahari musim panas. Keringat mengalir deras di sekujur tubuhnya. Hari itu memang benar-benar hari terpanas di musim panas tahun ini. Dan bola baseball itu tidak juga menunjukan tanda-tanda akan mendarat di lapangan itu.
“Ah.. Homerun yang menyebalkan...” Hinata membuka topi baseball-nya, menutup matanya menggunakan lengan, dan memakai topinya lagi. Dengusan meluncur dari hidungnya. Dengusan lelah dankesal. Matahari yang menyengat ini sudah tak bisa ditahan lagi olehnya. Dia mulai berjalan tanpa gairah meninggalkan lapangan untuk mengambil bola yang tadi dipukulnya. Seakan tahu dimana bola itu akan mendarat.
PRAAAANG!
Dan, yang benar saja, bola itu mendarat masuk ke sebuah rumah—kamar tepatnya—melalui sebuah jendela khas Jepang dan meninggalkan kaca yang berlubang mendingin sendiri. Hinata dengan enggan melangkah sedikit demi sedikit tanpa semangat sama sekali. Karena, hey, siapa sih orang yang semangat menghampiri seseorang yang akan memarahinya hanya karena sebuah kecelakaan kecil—sebuah bola yang dipukul dan secara tidak dikehendaki memecahkan kaca jendelanya?
Hinata mempercepat langkah karena teman-temannya sudah bawel meneriaki dia agar segera mengambil bola tersebut. Selama di perjalanan, Hinata menyiapkan mentalnya seakan sebentar lagi dia menghadapi calon mertua dari kekasih yang akan dia lamar. Tepat di depan pintu rumah sang ‘korban’, tepat sebelum Hinata mengetuk pintu—setelah dia tahu bawa rumah ini tidak memasang bel pintu—dan tepat sebelum dia mengambil nafas untuk memberi salam, pintu rumah itu sudah terbuka. Menampakkan sesosok wanita yang cukup muda tersenyum ramah mengenakan apron sederhana seperti ibu rumah tangga lain yang memakainya ketika sedang memasak. Hinata ragu sejenak tetapi pada akhirnya dia membalas tersenyum—yang lebih tepat disebut seringai—dengan canggung sambil membungkukkan badan meminta maaf. Wanita itu hanya tersenyum dann menyilakan Hinata untuk masuk. Dengan terheran, Hinata masuk dan melangkah ke sebuah kamar yang ditunjukkan oleh wanita tesebut.
“Kamu pasti mencari bola baseball, ‘kan? Bolamu ada di dalam kamar ini.” Dia menunjukkan sebuah kamar dengan pintu berhiaskan sebuah papan yang imut bertuliskan ‘YUI’—yang Hinata yakinkan adalah sebuah nama, nama seorang anak perempuan. Tanpa pikir panjang, Hinata memegang kenop pintu kamar itu dan memutarnya perlahan. Pemandangan yang didapatnya adalah sesosok gadis berambut soft pink panjang yang sedang terduduk di atas kasurnya mengenakan sepasang piyama dan memegang sebuah bola baseball. Gadis itu tersenyum kepada Hinata. Senyum yang membuat Hinata tak pernah melepaskan perhatiannya dari gadis rapuh itu.
“Kau mencari ini?” tanya sang gadis itu sambil mengangkat bola itu ke arah Hinata. Hinata akhirnya tersadar dan tersenyum aneh sambil menggaruk tengkuk lehernya. Dia berjalan mendekat ke sang gadis pemilik pintu kamar bertuliskan namanya itu dan membungkuk lagi. Tangannya menengadah menghadap Yui dan menjawab pertanyaannya, “Ya, terima kasih.”
“Sama-sama. Oh, hei, semenjak kamu ada di sini, bisakah kau bercerita padaku beberapa tentang baseball?” Yui kembai tersenyum dan menunjuk sebuah kursi di samping kasurnya seakan memberi perintah kepada Hinata agar duduk dan bercerita tentang kegiatan yang membuatnya harus berada di sana saat ini. Sesaat Hinata mengkerutkan dahinya dan akhirnya menurut setelah senyum Yui memudar.
“Eh... Tapi.. Aku hanya punya waktu sedikit. Dan aku bukan tipe orang yang pandai bercerita.” Hinata menggaruk tenguk lehernya lagi dan mulai bercerita sedikit tentang baseball, sebisa mungkin bercerita dengan intonasi dan diksi yang tepat. Hinata melirik Yui dan mendapatakan Yui memperhatikan ceritanya dengan seksama dan penuh senyum. Matanya memancarkan rasa ingin tahu yang sangat mendalam. Dan hal ini membuat Hinata tersenyum. Bukan senyum canggung yang lebih terlihat seperti seringai atau senyuman aneh yang dia berikan saat pertama kali masuk kamar gadis itu. Tapi sebuah senyuman lembut yang bahkan Hinata pun dibuat bingung dengan senyuman yang muncul secara alamiah itu.
Mereka berdua terus asik dengan obrolan yang mengalir dan berkembang. Hingga ponsel Hinata berbunyi. Ketika dia melihat layarnya dan membuka pesan singkat yang baru saja masuk ke ponselnya itu, tertera sederet kalimat yang mengingatkannya akan permainan baseball yang sedang dia mainkan bersama beberapa temannya. Dengan tergesa-gesa, Hinata pamitan kepada Yui dan Ibunya. Dalam ketergesa-gesaannya, Hinata kembali mengingat-ingat bagaimana Yui tersenyum untuknya, bagaimana Yui tertawa bersamanya, dan bagaimana kehangatan yang diberikan Yui meresap ke dalam lubuknya. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah Yui, dia teringat akan topinya yang terlupakan olehnya, yang diletakannya di atas meja di dalam kamar sang gadis. Namun Hinata tetap berlari menuju lapangan dan membayangkan bagaimana dia akan disambut oleh senyuman lagi ketika dia mengambil topinya besok.
Esoknya, hari begitu cerah dan membuat Hinata segera melesat keluar dari rumahnya menggunakan sepeda dan langsung mengarahkan sepedanya menuju rumah Yui. Kali ini dia mampir dulu ke sebuah toko buah dan membeli beberapa ons buah strawberry sambil membayangkan betapa cocoknya Yui jika disandingkan dengan buah-buah ini. Setelah membayar buah-buah itu, Hinata kembali melesat ke rumah khas Jepang yang dia singgahi kemarin.
Sesampainya ditujuan, Hinata memarkirkan sepedanya di halaman rumah dan mengetuk pintu rumah itu. Lagi, seorang wanita muda yang masih cantik—yaitu ibunya Yui—membuka pintu sambil tersenyum seramah yang kemarin. Dia mempersilakan Hinata masuk dan duduk di ruang tamu. Beliau meminta Hinata untuk menunggu sebentar sementara sang ibu menaruhbuah tangan pemuda berambut biru itu di sebuah wadah dan kembali ke ruang tamu bersama Hinata. Wanita itu memulai sebuah pembicaraan.
“Terima kasih buahnya, Nak Hinata.” Buah-buah yang tadi dibawa pemain baseball itu kini disuguhkan di atas meja. “Yui sedang diperiksa dokter. Jadi, kau harus menunggu sebentar.” Senyum dari wanita ini seakan tak pernah lutur. Membuat Hinata merasa nyaman seolah-olah berada di rumahnya sendiri.
“Tidak masalah. Aku punya banyak waktu yang bisa kuhabiskan,” jawabnya sambil tersenyum. “Ah, memangnya Yui sakit apa?” wajah sang ibu berubah menjadi sedikit muram. Hinata khawatir ada perkataannya yang salah. Ketika Hinata membuka mulutnya hendak meminta maaf, sang ibu sudah bersuara terlebih dahulu.
“Yui itu.. Dahulu adalah anak perempuan normal biasa. Sampai suatu hari dia tertabrak mobil dan lumpuh total. Dia menghabiskan waktunya di atas kasur tanpa bisa melakukan apapun.” Beliau mendesah dan melanjutkan. “Bibi sedih melihatnya di dalam kamar tak berdaya dan kesepian. Tapi, kemarin dia begitu senang kamu datang dan mengobrol dengannya. Sampai-sampai dia menceritakan semua yang kalian bicarakan sebanyak tiga kali.” Sang ibu tertawa lemah. “Makanya, Bibi akan sangat berterima kasih padamu jika kamu berkunjung untuknya lagi.” Senyum tulus penuh terima kasih dilemparkan oleh wanita itu ke arah Hinata. Dan, saat itu pula Hinata bersumpah untuk tidak membuat senyum wanita ini pupus. Untuk tidak membuat senyum gadis manisnya berubah menjadi kemuraman.
Sesaat kemudian dokter keluar dari kamar Yui. Hinata langsung berdiri dan meminta izin untuk masuk ke kamar Yui. Dan seperti yang pemuda bermata biru harapkan, senyum Yui kembali merekah di wajahnya. Menghiasi paras mungilnya, menghiasi hati kecilnya.
“Bagaimana keadaanmu?” Hinata tersenyum dan mengambil kursi untuk duduk di samping kasur sang gadis.
Yui tertawa kecil. “Tak pernah merasa lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum. Mereka berdua terus berbicara dengan seru. Tertawa bersama, tersenyum bersama, terkejut bersama, melakukan segala hal menyenangkan bersama. Sampai tiba waktunya bagi Hinata untuk pamit. Tepat sebelum Hinata pergi meninggalkan kamar gadis rapuh itu, Yui bersuara.
“Hei, Hinata. Kau tidak perlu repot-repot berkunjung hanya untuk mengambil topi ini lagi besok, ‘kan?” Hinata berhenti dan berbalik memandang topi yang berada di tangan Yui. Dia menepukkan tangan ke dahinya pelan. Menandakan bahwa ia lupa akan hal itu. Dia berjalan menuju kasur Yui dan mengambil topinya. Tapi Hinata tidak lekas pergi, dia berdiam diri memandangi topi itu dan menimbang-nimbang sesuatu. Yui terheran-heran dan melemparkan pertanyaan padanya.
“Ada masalah?”
Hinata memejamkan mata. Ya, ada. Tentu ada masalah jika topi ini dikembalikan, tak akan ada alasan yang kuat untuk menjadi tamengku agar bisa menemuimu setiap hari, batinnya. Hinata membuka matanya dan memasangkan topi itu di kepala Yui, lalu mengacak-acaknya dengan lembut.
“Simpan saja topi itu untukku.” Hinata tersenyum dan mengedipkan satu mata pada Yui. “Jaga topi itu baik-baik. Aku akan ke sini setiap hari. Sesering mungkin dan memeriksa apakah topi itu masih utuh dan terawat dengan baik. Kalau tidak...” Hinata tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
“Kalau tidak?” Yui memiringkan kepalanya sedikit.
“Kalau tidak, aku tidak akan menceritakan apapun lagi,” jawabnya sambil tersenyum dan melambai pada sang gadis sambil pergi keluar dari kamar dan menghilang di balik pintu.
Sejak saat itulah Hinata terus mengunjungi Yui. Terus membuat senyum itu tidak pudar, terus mendorong kursi roda untuk Yui, terus membantu ibunya mengurus gadis bermabut merah jambu itu. Entah sudah berapa hari, berapa minggu atau bahkan mungkin berapa bulan Hinata selalu berkunjung ke rumah Yui.
Sampai suatu ketika, Hinata sedang disibukan oleh turnamen baseball-nya sehingga tidak bisa berkunjung terlalu sering. Dan, oh, kau tak tahu betapa merindukannya mereka berdua. Tapi Hinata tahu, dia harus memfokuskan pikirannya kepada turnamen dulu. Ketika pertandingan terakhir selesai, dia berjanji pada dirinya sendiri agar langsung menemui Yui dan meminta maaf padanya karena tidak berkunjung lagi akhir-akhir ini. Dan Hinata tahu, pertandingan terakhir akan berlangsung seminggu lagi. Seminggu lagi saja Hinata harus bertarung melawan egonya yang menginginkan dia lari dari lapangan berpasir nan gersang itu menuju rumah pujaan hatinya. Dia ingin, begitu menemui sang gadis, datang dengan keadaan sedramatis mungkin dan berharap kabar gembira yang akan dibawanya saat dia menang nanti dapat membuat pernyataan cintanya diterima. Tujuh hari lagi, batinnya mengingatkan.
Selama tujuh hari itu, mereka beromunikasi melalui ponsel. Hanya melalui itu. Saling mendengar suara masing-masing melalui telepon, saling berkirim pesan singkat, saling berkirim foto. Dan tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Hinata yang sudah tidak sabar menunggu hari ini berakhir, menunggu kemenangan di depan matanya, berusaha untuk menenangkan dirinya. Hari itu, dia menunggu pesan singkat dari Yui. Menunggu untuk disemangati oleh sang gadis meskipun hanya melalui sebuah pesan singkat. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Dan dia mendapatkan lebih dari yang inginkan. Bukan pesan singkat, tapi sebuah telepon. Wajahnya langsung cerah, dengan segera ditekannya tombol hijau dan menempelkan ponsel itu ke telinganya. Sesaat setelah mengangkat telepon itu, Hinata terdiam. Ada sesuatu yang salah, Hinata tahu itu, ketika yang didengar di sebrang sana bukanlah suara gadis pujaan. Melainkan suara ibunya. Suara yang menggambarkan kecemasan dan kesedihan yang sangat riil. Selama beberapa saat, Hinata hanya diam mendengarkan suara sang ibu dengan seksama. Wajah cerahnya perlahan luntur. Segala warna di wajahnya kini menghilang. Semangat yang tadi dirasakannya pupus. Dia menutup teleponnya. Dan sekarang, dia berharap hari ini benar-benar segera berakhir dan semuanya berjalan baik tanpa ada satupun hal buruk terjadi.
Pertandingan berlangsung seru. Sejauh ini, Hinata mampu mengontrol emosinya. Meskipun hatinya setengah mati menahan rasa gelisah. Meskipun tenggorokannya setengah mati menahan air matanya. Meskipun otaknya setengah mati mengenyahkan segala pikiran buruk tentang nasib si dia. Pertahanannya sedang lemah ketika bola melambung di atas kepalanya. Jika dia menangkap bola ini, kemenangan sudah pasti dibawa pulang olehnya dan rekan timnya. Dan dia yakin dapat menangkap bola ini. Tangannya menengadah ke atas, menatap di mana bola berada. Namun matahari yang terlalu silau, pikiran yang terlalu kalut, perasaan yang bercampur aduk membuatnya tidak dapat memfokuskan matanya pada bola itu. Dan sayangnya, bola itu tidak mendarat di tangannya. Melainkan di tanah. Tepat di samping kakinya. Matanya terbelalak. Peluit dibunyikan. Permainan berakhir. Kalah. Tanpa pikir panjang, Hinata langsung lari. Untuk kali ini saja, Hinata berharap menuruti egonya merupakan jalan terbaik. Dia berlari ke rumah sang gadis.
Tepat ketika Hinata sampai di depan rumah sang gadis, Yui—yang matanya kini terpejam—sedang dimasukan ke dalam mobil ambulans. Hinata tanpa menyempatkan diri untuk menarik napas langsung melesat masuk ke dalam ambulans. Memegangi tangan mungil sang gadis yang sudah sedingin es. Memeganginya sangat erat sambil berusaha mengatur napasnya.
“Y—Yui! Yui, kumohon—bangunlah!” Hinata memanggil namanya diantara napas yang belum juga teratur. Sang gadis membuka matanya perlahan. Menoleh kepada sang pemuda dan tersenyum lemah. Hinata bersyukur. Meskipun dia tidak memenangkan pertandingan, setidaknya dia sempat melihat senyum yang dirindukannya itu. Saat itu pula, Hinata menahan diri untuk tidak sujud syukur karena Yui masih hidup.
“Bagaimana pertandingannya?” tanya Yui dengan suara yang sangat lemah. Hinata hanya tersenyum miris sebagai jawabannya. Tetapi Yui tetap tersenyum hangat dan memberikan semangat pada Hinata. Memberikannya harapan untuk memenangkan pertandingan itu tahun depan. Memberikan setitik cahaya harapan untuk esok hari yang lebih baik dengan keberadaan sang gadis di sampingnya.
When I see your face
There’s not a thing that I would change
‘Cause you are amazing
Just the way you are
Di saat-saat terakhirnya bersama Hinata, Yui terus bercerita tentang apa yang dia lakukan selama Hinata tidak mengunjunginya. Hinata hanya bisa tersenyum miris sebagai jawaban dari semua cerita Yui. Terkadang Hinata hanya tertawa kecil. Dia tidak sanggup, sungguh, berbicara sedikitpun. Dia tidak sanggup melihat sang gadis harus merasakan sedih di saat-saat terakhirrnya jika dia melihat Hinata mengangis untuknya. Dia sudah berusaha dan tidak sanggup lagi mencekat air mata itu di tenggorokannya.
Hinata mengumpulkan keberanian terakhirnya untuk mengucapkan sebaris kalimat kepada Yui, kepada seseorang yang selalu berada di hatinya itu. Hinata menggenggam tangan Yui dan mengabil napas panjang. Berusaha air matanya tetap tertahan ketika dia berbicara.
“Yui, even if you can’t walk or stand, or even if you can’t have kids!” Hinata menelan ludah. “I’ll still marry you! I’ll always stay by your side. The Yui I met here isn’t fake. It’s the real Yui.” Hinata merasakan air matanya mulai mengambang di pelupuk mata. “ No matter where or how I meet you, I’ll fall in love with you. If I can meet you again, against 6 billion to 1 odds, and even if your body can’t move, I’ll marry you.”
Sekarang, Hinata benar-benar berharap ada keajaiban yang dapat membuat air matanya tetap bertahan setidaknya di pelupuk matanya. Yui hanya tersenyum. Tangannya meraba-raba di udara dan Hinata menangkapnya. Yui tersenyum dan berkata—nyaris berbisik, “terima kasih, Hinata. Terima kasih.” Dan senyum itu tetap abadi dalam tidurnya yang lelap. Kini Hinata dapat merasakan air matanya turun dari pelupuk mata melalui pipinya ke bawah.
And when you smile
The whole world stop and stares for a while
‘Cause girl, you are amazing
Just the way you are
—I’ll find you. That’s how we’ll meet. We’ll end up talking, we’ll get along, and before I know it, I’ll be visiting you every day.” —Hinata.
END
A/N : Well, karena saya merasa bahwa ini adalah satu-satunya fanfic yang bisa saya banggakan dan setelah katanya boleh mem-publish fic yang udah saya publish di account saya kemarin—dan dari kemarin belum ada seorang pun yang me-review—jadi saya memutuskan agar fic ini dipampang juga di sini. hahahahahahaha. Hah? Plagiat katamu? wong ini fic punya saya plagiat dari jidatmu?
Ah, yeah. one more thing about fanfic. saat ini sedang diadakan IFA (Indonesian Fanfiction Awards). untuk selebihnya, tanyakan pada orang ini: heylalaa